Beranda | Artikel
Hukum Menikah Dengan Wanita Ahmadiyah
Selasa, 29 Desember 2020

KELOMPOK AHMADIYAH LAHORIYAH DAN HUKUM MENIKAH DENGAN WANITA MEREKA

Pertanyaan
Saya seorang laki-laki yang berusia 34 tahun, saya telah menikah dengan seorang wanita yang usianya 36 tahun, saya orang sunni, sedangkan istri saya dari kelompok Ahmadiyah Lahoriyah, saya telah menikahinya sejak satu setengah tahun yang lalu, saya sebelumnya tidak banyak mengetahui prihal kelompok tersebut, kecuali bahwa sebagian teman-teman saya berkata kepada saya: “Tidak apa-apa menikahi wanitanya selama dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masih berada pada keyakinannya”. Ia berkata kepada saya: “Tetaplah anda berada pada keyakinan anda, akan tetapi pada akhirnya anda akan mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah”. Sebenarnya kami menghawatirkan masa depan anak-anak kami, mereka akan tumbuh dengan keyakinan yang mana ?. Saya mencintai wanita tersebut dengan sepenuh hati, saya melihat bahwa perceraian bukanlah solusi; karena setiap kami akan sulit sekali mendapatkan pasangan kembali, apalagi pada usia yang mulai senja ini, saya juga tidak menghukumi seseorang yang masih mendirikan shalat dengan menghadap kiblat dengan kekufuran, maka apa nasehat anda? Dan di antara yang membedakan antara Ahmadiyah Lahoriyah dengan Ahmadiyah Qadyaniyah adalah bahwa Ahamadiyah Lahoriyah tidak meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi, namun mereka meyakini bahwa Mirza adalah tokoh pembaharu yang paling menonjol pada abad 14.

Apakah yang demikian itu menjadi berbeda dari keduanya ?

Jawaban
Alhamdulillah.

Telah disebutkan pada jawaban soal nomor: 4060 tentang rincian akidah Qadyaniyah, dan mereka bukan termasuk umat Islam, yang dapat difahami dari perkataan anda bahwa anda sebenarnya yakin dengan hal ini, namun yang menjadi persoalan anda adalah kelompok Ahmadiyah Lahoriyah.

Sebagaimana diketahui bahwa pendiri Qadyaniyah adalah Mirza Ghulam Ahmad al Qadyani, sepeninggalnya pada tahun 1908 M. dia telah meninggalkan warisan harta dan kedudukan, pengikutnya banyak yang memperebutkan keduanya, akan tetapi pendiri yang sebenarnya dari Ahmadiyah -adalah penjajah Inggris- tidak mengizinkan mereka untuk mengaku-ngaku sebagai Nabi seperti yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad, untuk menjaga penyebaran kelompok tersebut di tengah-tengah umat Islam tanpa ada keraguan dalam diri mereka yang masih awam, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi perbedaan pendapat dengan para ahli waris dari Mirza tentang harta tersebut untuk siapa dan bagaimana pembagiannya ?

Karena hal tersebut maka pada tahun 1914 M. telah terjadi perpecahan di antara mereka hingga menjadi dua kelompok:

Pertama: Ahmadiyah Qadyaniyah.
Tokoh yang berada pada kelompok ini adalah Basyiruddin Mahmud bin Mirza Ghulam, dialah yang mengantikan Nuruddin al Buhairawi sepeninggalnya yang menjadi khalifah pertama dari Mirza Ghulam, inilah yang dimaksud dengan Qadyaniyah secara umum, mereka dikenal dengan sebutan: “Syu’bah Rabwah”, sebuah nama kota baru yang dibangun oleh Basyiruddin, dan mengklaim bahwa nama kota tersebut yang tertera di dalam al Qur’an:

كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ

[Al-Baqarah/2:265]

اِلٰى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَّمَعِيْنٍ

[Al-Mu’minun/23:50]

Kedua: Kelompok Lahoriyah
Sedangkan kelompok yang lain dinamakan Ahmadiyah Lahoriyah, mereka menjadikan kota Lahore yang merupakan ibu kota Punjab sebagai pusat kegiatan mereka, kemudian dikenal dengan “Syu’bah Lahor”. Dan yang menjadi pimpinan mereka adalah Muhammad Ali, dia adalah Qadyani yang buruk, dahulu termasuk yang membantu Mirza Ghulam Al Qadyani, mempunyai buku yang terkenal tentang terjemah al Qur’an Karim ke dalam bahasa Inggris, buku tersebut telah dikecam oleh ulama Ahlus Sunnah karena di dalamnya telah disisipkan tentang keyakinan kelompok Qadyaniyah.

Para ulama berbeda pendapat tentang keyakinan Muhammad Ali kepada Mirza Ghulam Ahmad al Qadyani, sebagian mereka berkata: Bahwa dia meyakini Mirza sebagai mujaddid (pembaharu) bukan sebagai Nabi, namun menurut pendapat yang rajih adalah bahwa dia seorang yang nista dan pembuat makar, bahwa sepeninggal Mirza baru dia memproklamirkan tentang keyakinannya agar tidak dianggap menyimpang jauh dari Islam tentang kenabian Mirza. Dan itulah yang terjadi, maka melalui dirinya faham Ahmadiyah mulai berkembang di banyak negara.

Berikut ini ringkasan tentang sempalan dari Qadyaniyah dan keyakinan mereka yang sebenarnya:

Ghalib bin Ali ‘Iwaji –waffaqahullah-

Sempalan Lahoriyah al Qadyaniyah:
Kepala dari sempalan ini adalah Muhammad Ali, dia termasuk generasi awal yang ikut mendirikan Qadyaniyah, dia mempunyai peran yang penting dan kontribusi yang besar dalam memunculkan Mirza Ghulam sebagai Nabi, membantu proses tersebut melalui pemikiran dan buku-bukunya. Dialah orang terakhir yang paling setia kepada Inggris dan menyeru agar mentaati mereka dengan sukarela, mereka pernah mempunyai beberapa catatan tentang Mirza Ghulam dan keluarganya, terkadang ia merasa iri dengan Mirza yang mengaku Nabi karena banyak harta yang mengalir kepadanya dari pengikutnya, maka ia pun berterus terang dengan keadaan Mirza yang sebenarnya mengaku Nabi, namun Mirza pun membantah tuduhan tersebut.

Setelah meninggalnya Mirza yang mengaku Nabi, perbedaan semakin meruncing antara keluarga Mirza yang mengaku Nabi dengan Muhammad Ali, seputar pembagian harta warisan yang banyak dikuasai oleh keluarga Mirza Ghulam, padahal mereka mengetahui yang sebenarnya bahwa kenabian yang mereka buat adalah seperti perusahaan profit yang mana mereka semua (termasuk Muhammad Ali) termasuk di dalamnya. Perbedaan personal tersebut ternyata tidak banyak berpengaruh pada penyempurnaan strategi untuk menggulingkan Islam, khususnya kekuatan yang telah dibangun oleh Mirza Ghulam dan pemikirannya masih menjadi sumber kekuatan, mereka para penjajah masih ingin menyempurnakan jerat-jeratnya demi mencapai tujuannya.

Adapun berkaitan dengan keyakinan Muhammad Ali kepada Mirza Ghulam, apakah dia banyak berbeda dengannya, atau dia mempunyai mabda’ (pemikiran) yang dibisikkan kepadanya, atau dia sepakat dengan Mirza seutuhnya ?. Nampaknya bagi kami yang menonjol adalah sebagaimana pendapat para ulama yang menukil pendapat-pendapatnya bahwa mereka berdua berbeda pendapat pada hal-hal berikut ini:

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa Muhammad Ali yang dipilih oleh Inggris untuk menyempurnakan strategi Qadyaniyah dengan cara tidak berhadapan langsung dengan banyak kelompok umat Islam di India, Pakistan dan lain-lain. Juga menjauhi kontak langsung dengan ulama kaum muslimin yang giat memerani Qadyaniyah dan mengeluarkannya dari agama Islam. Maka kondisinya menuntut Muhammad Ali dan cabang-cabangnya agar mengimbangi kecaman para ulama tersebut dengan tidak meyakini kenabian Mirza Ghulam, tapi hanya menempatkannya sebagai mujaddid (pembaharu) dan mushlih (pembenah); untuk mengundang perhatian banyak orang kepada Qadyaniyah dan untuk menekan kemarahan umat Islam kepada Qayaniyah, maka Muhammad Ali dan cabang-cabangnya menampakkan diri dengan pemikiran ini dengan tujuan untuk memancing orang-orang dan terjebak dalam perangkapnya.
  2. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Muhammad Ali dan cabangnya sebelumnya meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak mengaku sebagai Nabi, semua yang menyatakan demikian hanya merupakan ungkapan perumpamaan saja, mereka mengakui hal tersebut secara bahasa saja, mereka mengakui realita dan orang-orang Qadyaniyah menganggap mereka sebagai orang munafik; karena mereka berusaha menggabungkan antara aqidah Qadyaniyah dan penisbatan kepada pendiri dan kepalanya dengan persetujuan banyak orang. Sesuai dengan sikap tersebut bahwa Muhammad Ali al Lahore selalu menjuluki Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) abad 14 dan mushlih akbar (pembenah yang agung), selain itu dia juga meyakininya sebagai al Masih yang dijanjikan.

An Nadwi berkata tentang mereka: “Atas dasar itulah kedua kelompok tersebut bertemu”.

  1. Ustadz Mirza Muhammad Salim Akhtar berpendapat dalam bukunya: “Kenapa Saya Meninggalkan Qadyaniyah ?”, menuju pendapat yang lain bahwa beliau berkata setelah melihat perbedaan yang terjadi antara Muhammad Ali dengan jama’ah Rabwah tentang kedudukan khilafah setelah Nuruddin: “Dia mengingkari kenabian Mirza demi meraih kemuliaan di tengah-tengah umat Islam”. Kemudian beliau berkata: “Tidak seorang pun yang mengingkari realita tersebut, bahwa Muhammad Ali telah mengakui kenabian Mirza, pengingkarannya tentang kenabiannya dianggap laksana simpul di angkasa”.

Realitanya:
Pendapat yang mengatakan bahwa cabang Lahore yang dipimpin oleh Muhammad Ali tidak meyakini kenabian Ghulam atas dasar kesadaran adalah pendapat yang sulit diterima; karena sikap dan semua penjelasan mereka menyatakan bahwa mereka meyakini kenabian Mirza Ghulam tidak hanya sekedar mujaddid dan pembenah saja.

Sebagaimana penjelasan-penjelasan Ghulam sendiri tentang kenabiannya tidak bisa diingkari oleh mereka yang berada lebih jauh dari cabang Lahore, lalu bagaimana mungkin mereka tidak mengetahui sama sekali perihal kenabian tersebut ?!

Sebagaimana juga bahwa keyakinan cabang Lahore tersebut tidak mempunyai pondasi apapun kecuali pondasi yang telah dibangun oleh Ghulam Ahmad yang dibantu oleh Muhammad Ali sendiri.

Kebatilan itu pasti akan menyebabkan kontradiksi di antara pengikutnya, Muhammad Ali sendiri yang menjelaskan tentang Ghulam Ahmad: “Kami berkeyakinan bahwa Ghulam Ahmad sebagai al Masih yang dijanjikan, dan al Mahdi yang ditunggu, dia adalah Rasulullah dan Nabi-Nya yang telah diturunkan dengan derajat yang Dia jelaskan sendiri –maksudnya: dia adalah lebih utama dari semua Rasul- sebagaimana juga kami meyakini bahwa tidak ada jalan keselamatan bagi siapa saja yang tidak beriman kepadanya”.

Teks-teks yang lain masih banyak, yang semuanya menjelaskan bahwa cabang tersebut hasilnya tidak berbeda dari gerakan Qadyaniyah pusat yang ada di Qadiyan, dia menipu untuk tidak menampakkan keyakinannya dengan kemunafikan dan menipu orang awam, bahkan dia sampai mewasiatkan kepada pengikutnya di daerah “Marisyis” agar mereka tidak menyebarkan faham bahwa Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dan yang tidak meyakini demikian maka dianggap kafir; karena keyakinan bahwa Ghulam sebagai Nabi akan membahayakan penyebaran Qadyaniyah, itu artinya mereka menyebarkan bahwa Ghulam sebagai mujaddid untuk mendekatkan dan menarik perhatian umat Islam kepada mereka.

Dan di antara pendapat cabang ini adalah: “Andai saja Qadyaniyah sebelumnya menampakkan bahwa Ghulam Ahmad bukan seorang Nabi, maka Qadyaniyah akan bisa masuk ke semua penjuru dunia”.

Dengan ini menjadi jelas bahwa sempalan ini lebih lihai dan lebih cerdik dalam menyebarkan Qadyaniyah, sempalan tersebut yang berkesempatan untuk menyebar pada era modern ini sampai pada negara-negara Islam yang terjauh di benua Asia dan Afrika.

Muhammad Ali telah bersungguh-sungguh untuk menawarkan faham Qadyaniyah, dan di antara usahanya yang terpenting adalah: menterjemah al Qur’an al Karim ke bahasa Inggris dengan disisipi pemikiran Qadyaniyah, yang menjadikan banyak orang menjadi korban pemikiran tersebut karena dikira bahwa penerjemahnya adalah seorang muslim, dia juga mengarahkan penafsiran al Qur’an yang membahayakan karena terdapat kedustaan dan kedzaliman dan menyimpang dari para ulama, bahasa Arab dan ijma’; karena dia mentafsiri dengan makna kebatinan, banyak fokus pada pengingkaran terhadap yang ghaib dan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Terdapat banyak sekali contoh dalam masalah tersebut, di antaranya adalah:

Firman Allah –Ta’ala- kepada Musa:

1- اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْناً   البقرة/ 60  

Yaitu ; bahwa Allah menyuruh Nabi Musa untuk berjalan menuju sebuah gunung yang terdapat 12 mata air.

2-وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ  البقرة/ 63

Yaitu ; kalian dahulu berada pada dataran rendah di muka bumi dan berada ditepi gunung yang menghadap kepada kalian.

3- فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ   البقرة/65

Yaitu; hati dan akhlak mereka berubah bentuk.

4- أَنِّي أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْراً بِإِذْنِ اللّهِ   آل عمران/49

Maksud dari “Ath Thair” adalah isti’arah, adalah orang-orang laki yang mampu mencapai kedudukan yang tinggi di muka bumi dan apa yang berkaitan dengan itu dari akhlak dan yang lainnya, dan terbang menuju Allah dan bersemayam di alam ruh.

5. Maksud dari tangan yang putih yang diberikan kepada Musa adalah haji, tali dan tongkat pada firman Allah:

فَأَلْقَوْا حِبَالَهُمْ وَعِصِيَّهُمْ  الشعراء/44

Yaitu; sarana-sarana dan tipu daya mereka yang dilakukan untuk menjatuhkan upaya Nabi Musa.

Firman Allah –Ta’ala-:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ   سبأ/14 الآية

دابة الأرض  : adalah seorang laki-laki yang bernama Rahba’am bin Sulaiman yang menguasai kerajaan sesudahnya, dinamakan دابة الأرض karena jarak pandangannya yang pendek dan tidak melampaui bumi.

المنسأة  : yang berarti tongkat merupakan gambaran tentang lemah dan runtuhnya pemerintahan .

الجن  : adalah masyarakat asing yang tetap berada pada pemerintahan Bani Israil kala itu.

هدهد وسليمان  : ia adalah manusia yang dulunya dinamakan Hud-hud, ia adalah kepala intelejen pada pemerintahannya Nabi Sulaiman.

Dia telah mempermainkan makna dalam al Qur’an Karim dengan tafsir yang lebih cenderung kepada kebatinan, canda dan penuh dengan kedustaan dan khurafat, tafsir tersebut telah diterima oleh umat Islam –terlebih kepada mereka yang belum memahami bahasa Arab– dengan senang hati ; karena mereka tidak mengetahui bahwa tafsir al Qur’an Muhammad Ali dengan bahasa Inggris bertujuan untuk menghancurkan makna dari syari’at Islam dan pemahaman yang benar, Ustadz Nadwi telah menyebutkan dalam bukunya: “Al Qadyani dan Qadyaniyah” tentang contoh bahwa mereka mempermainkan al Qur’an agar menjadi peringatan dan terbebas dari kewajiban (menyampaikan). [Firaq Mu’ashirah Tantasibu ilal Islam: 2/846-851]

Atas dasar inilah maka sempalan kelompok Lahore ini tidak jauh ada perbedaan dengan aslinya, maka hukumnya sama yaitu ; mereka telah keluar dari Islam.

Telah diterbitkan keputusan “Majma’ Fiqhi Islami” yang bersumber dari “Munadzamah al Muktamar Islami” nomor: 4/4/3 tentang Qadyaniyah dan Lahoriyah, yang isinya :
Sedangkan kelompok Lahoriyah mereka itu sama dengan Qadyaniyah dalam hukum yaitu; mereka semua telah murtad meskipun mereka menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai bayangan dari Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“. [Majalah Majma’/edisi:2. 1/209]

Baca juga jawaban soal nomor: 45525 tentang pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita Qadyaniyah.

Atas dasar itulah:
Maka anda tidak boleh tinggal bersama istri anda kecuali dia masuk Islam dan membebaskan diri dari Qadyaniyah, kalau tidak demikian maka hubungan anda dengannya tidak sesuai syari’at, diharamkan bagi anda untuk memiliki rasa ketergantungan kepadanya, tidak ada pilihan lagi bahwa anda harus meninggalkannya yang merupakan kewajiban syar’i, hubungan anda dengannya dirusak oleh aqidahnya yang menyimpang, Allah –Ta’ala- berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.[Al-Ahzab/33:36]

Jadi dia antara dua pilihan, masuk Islam yang setelahnya diadakan akad nikah yang baru; karena pernikahan sebelumnya adalah batil, atau dia tetap berada pada keyakinannya maka anda harus berpisah dengannya, dan barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Alah maka Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik.

Wallahu a’lam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/26129-hukum-menikah-dengan-wanita-ahmadiyah.html